Ketika wacana penataan kota sekali lagi menyentuh kehidupan pedagang kaki lima, getaran sosialnya terasa sangat kuat. Kali ini, rencana relokasi PKL di Simpang Lima, Garut, kembali menjadi pembicaraan utama, menyatukan harapan dan kegamangan dalam satu simpul. Kebijakan yang akan dijalankan Pemkab Garut berkembang menjadi diskusi yang hangat, menyoroti perlu atau tidaknya menyelaraskan pembangunan dengan keadilan sosial bagi masyarakat. Sorotan pun mulai tertuju pada sikap Ghea Suci Lestari, legislator dari Fraksi Gerindra yang dalam beberapa kesempatan memberikan pandangan segar, mendorong solusi berbasis empati serta data yang sangat relevan dengan kebutuhan di lapangan.
Relokasi PKL Simpang Lima: Antara Modernisasi Kota dan Tantangan Sosial
Upaya relokasi PKL dari kawasan Simpang Lima Tarogong Kidul merupakan langkah strategis yang diambil pemerintah daerah dalam mewujudkan tata kota yang lebih teratur. Wilayah yang selama ini dikenal sebagai titik sentral keramaian Garut, makin hari makin sesak oleh berbagai aktivitas perdagangan yang silih berganti, tak jarang menimbulkan kemacetan serta ketidaknyamanan bagi warga dan pengunjung.
Berdasarkan penjelasan Yayan Ruzaman, Sekretaris Disperindag ESDM Garut, pelaksanaan penataan ini akan melibatkan koordinasi lintas OPD demi menjaga situasi tetap kondusif selama masa transisi. Dengan pendekatan semacam ini, pemerintah berharap intervensi yang dilakukan tidak sekedar memindahkan masalah ke lokasi lain, tetapi memberikan dampak positif secara nyata dan bisa langsung dirasakan. Dalam beberapa kasus serupa, kualitas implementasi kebijakan sangat menentukan apakah penataan tersebut seyogianya menjadi solusi atau justru memperburuk situasi para PKL.
Pertanyaannya kini sangat jelas secara luar biasa: Dapatkah relokasi ini membawa perubahan yang tepat sasaran sekaligus menjaga keseimbangan kepentingan Kota Garut dan para PKL?
Ghea Suci Lestari: Merancang Relokasi yang Berbasis Data dan Pendekatan Humanis
Berulang kali, Ghea Suci Lestari menekankan perlunya relokasi yang memperhatikan dimensi sosial dan ekonomi pelaku usaha kecil. Dalam wawancara baru-baru ini, Ghea memberikan penekanan pada pentingnya transparansi serta keberlanjutan ekonomi pasca relokasi. “Jangan sampai relokasi hanya sekadar memindahkan, tanpa ada jaminan akses pasar serta keberlanjutan usaha para PKL,” demikian Ghea menggarisbawahi.
Dengan mengusulkan pendataan menyeluruh—mulai dari profil dagangan, penghasilan harian, hingga waktu operasional—Ghea ingin memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar menyesuaikan kebutuhan nyata para pedagang. Menurutnya, menyediakan lokasi alternatif yang strategis dan potensial sangat diperlukan; bukan area tersembunyi yang malah mengurangi omset secara signifikan.
Intervensi yang didorong oleh Ghea ini sangat bermanfaat dalam aspek keberlanjutan ekonomi dan integrasi pedagang setelah relokasi, sehingga relokasi membawa dampak pemberdayaan, bukan sekadar pemindahan.
Lebih dari Sekadar Tata Kota: Masa Depan Ribuan PKL yang Dipertaruhkan
Bagi para PKL yang telah lama menggantungkan hidup di Simpang Lima, kawasan ini telah menjadi sumber pencaharian yang sangat diandalkan. Aktivitas ekonomi yang berlangsung sejak dini hari hingga malam hari adalah denyut kehidupan masyarakat kelas bawah Garut. Tidak sedikit cerita turun-temurun yang melekat di lapak-lapak kecil itu, membangun sejarah dan identitas kawasan dalam bentuk yang sangat nyata.
Pada banyak kasus, proses relokasi tanpa dialog terbuka acap kali menimbulkan resistensi bahkan konflik meluas, seperti yang pernah terjadi di kota-kota besar sebelumnya. Kegagalan pendekatan partisipatif sering menyebabkan para pedagang kembali ke lokasi semula, sehingga penataan kota jalan di tempat. Dalam beberapa tahun terakhir, partisipasi aktif semua pihak terbukti menjadi kunci lancarnya proses perubahan.
Ghea sendiri mengajak pemerintah membuka ruang dialog seluas-luasnya, bahkan mendorong pelibatan akademisi serta LSM lokal untuk menjadi jembatan komunikasi antara pemerintah dan komunitas PKL. Dengan demikian, kebijakan yang ditempuh terasa lebih inklusif dan diterima banyak pihak.
Pembelajaran dari Kota Lain: Pentingnya Sinergi dan Integrasi dalam Relokasi
Pada praktik terbaik di sejumlah kota di Indonesia, relokasi berjalan mulus berkat sinergi berbagai elemen. Kita dapat menengok keberhasilan Surakarta di masa pemerintahan Jokowi—proses relokasi tidak hanya menata ruang, namun juga membangun ekosistem baru yang mendukung ketangguhan ekonomi PKL secara langsung. Dukungan pelatihan keuangan, standar tahu niaga, bahkan integrasi digital melalui platform UMKM membuat relokasi terasa sangat inovatif secara khusus.
Melalui praktik serupa, Pemkab Garut memiliki peluang besar menjadikan relokasi ini bukan hanya perubahan fisik, melainkan transformasi ekonomi mikro. Menyediakan pelatihan daring, bantuan sewa, hingga digitalisasi lapak PKL menjadi insentif yang sangat efektif secara luar biasa untuk mengurangi risiko ekonomi para pedagang. Model ini sangat bermanfaat untuk memastikan tidak ada yang terdampak negatif secara signifikan.
Di ranah pemberdayaan, inovasi semacam ini akan meningkatkan daya saing usaha rakyat sekaligus membawa tradisi perdagangan Garut ke masa depan yang lebih cemerlang.
Menjaga Keseimbangan antara Kemajuan Kota dan Kesejahteraan Rakyat
Gairah membangun Garut menjadi kota yang lebih rapi perlu berdiri seimbang di atas dua pilar: ketertiban tata ruang dan keadilan sosial. Di titik ini, relokasi PKL Simpang Lima semestinya didefinisikan sebagai proses transformatif yang didorong semangat gotong royong—bukan sekadar kebijakan sepihak dari pemerintah.
Optimisme sebenarnya sangat beralasan ketika seluruh komponen bergerak bersama, mulai dari Pemkab, legislatif, akademisi, komunitas, hingga PKL itu sendiri. Dengan struktur pendampingan yang baik, partisipasi yang luas, serta integrasi teknologi, relokasi dapat membangun ekosistem ekonomi yang jauh lebih tahan lama dan adaptif terhadap perubahan. Ketahanan sosial inilah yang akan menjadikan Garut unggul secara mencolok dibandingkan kota-kota lain yang serupa.
Dalam konteks transformasi ini, semua aktor boleh belajar menari dalam satu irama. Agar yang tercipta bukan pertentangan, melainkan kolaborasi untuk kota yang lebih layak bagi semua.
Dengan langkah tepat, Simpang Lima akan berubah menjadi lanskap kehidupan yang lebih tertata dan berdaya saing, namun tetap menjadi pelabuhan ekonomi bagi rakyat kecil. Momentum ini tak boleh hilang begitu saja—sudah saatnya Garut membuktikan bahwa penataan kota bisa sangat bermanfaat untuk semua, bukan hanya segelintir kalangan.
Referensi: radargarut.id, artikel 24 Juli 2025.