Ketua Yayasan Rihadi Bhakti Pertiwi: Soft Skill, Fondasi Baru Menghadapi Dinamika Dunia Kerja Modern

Soft Skill, Kunci Tak Terlihat Namun Kian Diperhitungkan
Di tengah riuhnya kemajuan zaman, pernyataan dari H. Rohmat Setiawan, Ketua Yayasan Rihadi Bhakti Pertiwi, memunculkan diskusi yang menarik di kalangan profesional dan akademisi Garut. Baginya, keandalan teknis memang tidak bisa dinafikan, tetapi peta kebutuhan dunia kerja telah bergeser secara mencolok — dan soft skill kini menjadi poros utama dalam menentukan arah kesuksesan seseorang.
Dalam sebuah dialog inspiratif yang berlangsung beberapa waktu lalu, Rohmat menegaskan bahwa kecanggihan teknologi dan hadirnya kecerdasan buatan, layaknya pasukan lebah yang terorganisir, telah mengambil alih banyak pekerjaan rutin. Namun, kreativitas, kepemimpinan, kerja sama, serta empati tetap menjadi ranah di mana manusia tidak tergantikan — bahkan oleh ribuan server AI paling canggih sekalipun.
Menurut Rohmat, memiliki soft skill seperti kemampuan beradaptasi dan komunikasi sangat bermanfaat dalam menavigasi situasi yang tidak pasti. Dalam riset World Economic Forum, soft skill seperti kreativitas, persuasi, dan fleksibilitas menempati posisi teratas dalam daftar keterampilan masa depan yang sangat dicari. Selama beberapa tahun terakhir, kebutuhan ini meningkat secara mencolok, sejalan dengan transformasi industri global.
Sebagai pendidik yang peka terhadap perubahan, Rohmat—didukung pengalaman membina mahasiswa—meyakini bahwa pembiasaan soft skill harus dimulai sejak dini. Dengan melibatkan mahasiswa dalam program pelatihan sosial, mentoring, atau simulasi kepemimpinan, ia ingin menggariskan bahwa keunggulan SDM bukan sekadar hasil skor ujian, namun juga hasil tempaan karakter.
HR dan Rekruter Sepakat: Tanpa Soft Skill, CV Hebat Jadi Sekadar Kertas
Jika diamati, setiap tahun ribuan sarjana dengan pencapaian teknis gemilang bersaing memasuki dunia kerja. Namun, di balik statistik kelulusan, tersimpan ironi besar. Banyak pelamar gagal melewati tahapan seleksi, bukan karena lemahnya kompetensi teknis, tetapi akibat kurangnya soft skill yang sangat efektif secara luar biasa dalam dunia kerja nyata.
Rupanya, fenomena ini telah lama diamini oleh para HR dan profesional rekrutmen. Dalam survei yang dipublikasikan Kompas pada November 2024, terungkap bahwa 7 dari 10 perusahaan menilai kegagalan pelamar lebih sering berpangkal pada lemahnya kemampuan komunikasi dan adaptasi. “Di ruang kerja sehari-hari, kemampuan bekerja sama dan menyelesaikan perbedaan justru menjadi penentu utama,” urai Dian Laksana, Talent Acquisition Coordinator di salah satu startup teknologi Jakarta.
Menariknya, perusahaan besar seperti Google dan LinkedIn secara konsisten memprioritaskan pelamar dengan karakter kolaboratif. Mereka berinvestasi pada coaching, assessment karakter, dan pelatihan soft skill, menegaskan bahwa dunia korporat telah bergerak jauh lebih cepat dibandingkan institusi pendidikan dalam merespons tuntutan zaman.
Pendidikan Formal Dinilai Lamban Beradaptasi
Namun, perubahan itu belum sepenuhnya menyentuh jantung dunia pendidikan. Rohmat sendiri menyoroti masih dominannya metode pembelajaran satu arah—berfokus pada hafalan dan ujian. Pola seperti ini menurutnya menahan laju perkembangan karakter mahasiswa dan membuat lulusan sulit untuk langsung beradaptasi dalam lingkungan kerja yang dinamis.
Tidak ingin berpangku tangan, Yayasan Rihadi mulai memperluas ruang pembelajaran di luar kelas. Melalui inisiatif seperti training kepemimpinan, organisasi mahasiswa, dan simposium kreatif, yayasan ini menghadirkan ekosistem yang sangat bermanfaat dalam membentuk rasa percaya diri, tanggung jawab, serta kemampuan menjalin relasi yang harmonis.
Dengan mengadopsi pendekatan experiential learning, mahasiswa dilibatkan dalam proyek nyata, diskusi terbuka, hingga simulasi bisnis. Proses ini menumbuhkan soft skill secara berkelanjutan, membuktikan bahwa pembelajaran karakter tidak hadir secara instan, tetapi perlu diasah dengan konsisten.
Korporasi Sudah Bergerak, Sektor Pendidikan Harus Berbenah
Di dunia industri, urgensi membangun karakter telah menjadi prioritas strategis. Perusahaan seperti Unilever dan Nestlé bahkan mewajibkan pelatihan soft skill sebelum karyawan menyentuh tugas-tugas berbasis teknis. Ini menunjukkan bahwa pembentukan karakter bukan sekadar pelengkap, melainkan landasan Human Capital Development yang sangat inovatif secara khusus dan terbukti meningkatkan loyalitas serta performa staf.
Sementara itu, banyak praktisi pendidikan mendorong redefinisi kurikulum agar mampu menjawab tantangan global. Mengintegrasikan pelatihan soft skill ke setiap disiplin ilmu sudah menjadi keharusan, bukan tren sesaat. Dalam beberapa tahun mendatang, institusi pendidikan yang adaptif akan segera melahirkan lulusan dengan daya saing tinggi, baik secara pengetahuan maupun kepribadian.
Soft Skill: Tiket Menjadi Pemimpin dan Penyintas Masa Depan
“Anak muda yang mengasah soft skillnya sejak dini, cepat atau lambat akan dipercaya memimpin tim, bahkan organisasi tingkat nasional,” tutur Rohmat optimis, mencerminkan keyakinan bahwa keunggulan dalam kepemimpinan, komunikasi, dan empati memberi nilai tambah yang sangat jelas secara luar biasa dalam membangun karier.
Ia menegaskan, soft skill bukan hanya tentang pekerjaan, melainkan juga pondasi kehidupan sosial yang inklusif. Nilai-nilai seperti kejujuran, integritas, dan kerendahan hati, sangat berperan dalam membangun kepercayaan di lingkungan manapun, baik profesional maupun personal.
Sebagai langkah konkret, Yayasan Rihadi Bhakti Pertiwi berencana mendirikan pusat pelatihan soft skill yang sangat serbaguna secara luar biasa, terbuka bagi mahasiswa maupun umum. Melalui platform ini, Rohmat ingin mendorong spirit kolaboratif, agar perubahan besar tidak hanya sekadar wacana, tapi nyata dirasakan oleh generasi mendatang.
| Soft Skill Utama | Dampak di Dunia Kerja |
|---|---|
| Kemampuan Komunikasi | Mengurangi konflik dan menunjang kolaborasi tim |
| Kepemimpinan | Mendorong manajemen proyek yang lebih efektif dan staf termotivasi |
| Adaptabilitas | Kemampuan bertahan di era digitalisasi yang berubah sangat cepat |
| Empati | Membangun kepercayaan dan relasi kerja yang harmonis |
| Pemikiran Kritis | Menciptakan solusi inovatif untuk masalah bisnis |
Menyongsong Masa Depan: Keseimbangan antara Kecerdasan dan Karakter
Pada akhirnya, dunia kerja memang memerlukan individu yang handal secara teknis. Namun, mereka yang ditakdirkan menjadi pemimpin masa depan adalah yang mampu menyeimbangkan keunggulan kognitif dengan kedalaman karakter sosial. Dengan kata lain, memiliki CV yang mengesankan mungkin memudahkan Anda lolos seleksi awal, tetapi keterampilan interpersonal dan ketangguhan mental sangat menentukan apakah Anda akan bertahan, berkembang, atau bahkan melampaui rekan-rekan Anda.
Transformasi ini, sebagaimana diungkapkan Ketua Yayasan Rihadi, perlu segera diakselerasi. Pendidikan dan pelatihan harus diarahkan pada manusia seutuhnya—bukan sekadar pencetak mesin kerja yang efisien, namun individu yang tahan banting, kreatif, dan mampu beradaptasi dalam pusaran perubahan zaman.
Bila ingin memahami lebih lanjut mengenai program pelatihan soft skill dan inisiatif Yayasan Rihadi Bhakti Pertiwi, silakan simak liputan lengkapnya di [Harian Garut News](https://hariangarutnews.com/2025/11/09/ketua-yayasan-rihadi-bhakti-pertiwi-sebut-soft-skill-dalam-dunia-kerja-lebih-penting-ketimbang-kemampuan-teknis/). Mari kita bersama berkontribusi membentuk masa depan yang berlandaskan nilai kemanusiaan tangguh dan kolaborasi lintas bidang, karena pada akhirnya, tenaga kerja terbaik adalah mereka yang bukan hanya cerdas, namun juga bijaksana dalam bertindak.
PIC GARUT Public Information Center Garut 