Masa demokrasi parlementer di Indonesia berlangsung dari tahun 1950 hingga 1959. Pada masa ini, Indonesia menganut sistem pemerintahan parlementer yang menempatkan kedudukan badan legislatif lebih tinggi dari pada badan eksekutif. Sistem ini menyebabkan terjadinya pergantian kabinet yang cukup sering, yaitu sebanyak 27 kabinet dalam kurun waktu sembilan tahun.
Pergantian kabinet yang sering ini berdampak negatif terhadap perkembangan ekonomi Indonesia. Hal ini disebabkan karena setiap kabinet memiliki kebijakan ekonomi yang berbeda-beda. Selain itu, kondisi politik yang tidak stabil juga turut menghambat perkembangan ekonomi Indonesia.
Kebijakan Ekonomi Pada Masa Demokrasi Parlementer
Ada beberapa kebijakan ekonomi yang dikeluarkan oleh pemerintah pada masa demokrasi parlementer, antara lain:
- Kebijakan Gunting Syafruddin
Kebijakan ini dikeluarkan oleh Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara pada tanggal 20 Maret 1950. Kebijakan ini bertujuan untuk mengatasi inflasi yang tinggi. Kebijakan ini dilakukan dengan cara memotong nilai uang kertas sebesar 50%.
- Kebijakan Deklarasi Ekonomi
Kebijakan ini dikeluarkan oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo pada tanggal 28 Januari 1957. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan produksi dalam negeri dan mengurangi ketergantungan terhadap impor. Kebijakan ini dilakukan dengan cara memberikan subsidi kepada petani dan pengusaha.
- Kebijakan Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)
Kebijakan ini dikeluarkan oleh Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja pada tanggal 28 April 1956. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan pembangunan ekonomi Indonesia. Kebijakan ini dilakukan dengan cara menyusun rencana pembangunan lima tahun yang meliputi pembangunan infrastruktur, pertanian, industri, dan pendidikan.
Dampak Kebijakan Ekonomi Pada Masa Demokrasi Parlementer
Kebijakan-kebijakan ekonomi yang dikeluarkan oleh pemerintah pada masa demokrasi parlementer memiliki dampak yang beragam. Kebijakan Gunting Syafruddin berhasil menurunkan inflasi, tetapi juga menyebabkan perekonomian Indonesia menjadi lesu. Kebijakan Deklarasi Ekonomi berhasil meningkatkan produksi dalam negeri, tetapi juga menyebabkan defisit anggaran pemerintah. Kebijakan RPLT berhasil meningkatkan pembangunan ekonomi Indonesia, tetapi juga tidak berjalan dengan maksimal karena pergantian kabinet yang sering.
Secara umum, perkembangan ekonomi Indonesia pada masa demokrasi parlementer masih belum stabil. Hal ini disebabkan karena faktor-faktor internal dan eksternal, seperti pergantian kabinet yang sering, kondisi politik yang tidak stabil, dan perang saudara.