Syarat Wajib Puasa

Puasa merupakan salah satu ibadah wajib bagi umat Islam yang dilaksanakan selama bulan Ramadan. Namun, tidak semua umat Islam diperbolehkan untuk berpuasa. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar seseorang wajib berpuasa.

Syarat wajib puasa menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah antara lain:

Pada artikel ini, akan dibahas secara detail dan lengkap mengenai syarat-syarat wajib puasa menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah. Selain itu, juga akan dijelaskan tentang hal-hal yang membatalkan puasa dan hal-hal yang tidak membatalkan puasa.

syarat wajib puasa

Berikut ini adalah 7 syarat wajib puasa menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah:

  • Islam
  • Baligh
  • Berakal
  • Mampu
  • Tidak sedang haid atau nifas
  • Tidak sedang hamil atau menyusui
  • Tidak sedang bepergian jauh

Jika seseorang tidak memenuhi salah satu dari syarat-syarat wajib puasa tersebut, maka ia tidak wajib berpuasa. Namun, ia tetap dianjurkan untuk berpuasa jika mampu.

Islam

Syarat wajib puasa yang pertama adalah Islam. Artinya, hanya orang Islam yang wajib berpuasa. Orang yang tidak beragama Islam tidak wajib berpuasa.

Dasar hukum kewajiban puasa bagi umat Islam terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 183:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Dari ayat tersebut, jelas bahwa puasa merupakan kewajiban bagi seluruh umat Islam, tanpa memandang jenis kelamin, usia, atau status sosial. Namun, ada beberapa pengecualian bagi orang-orang yang tidak wajib berpuasa, seperti:

  • Anak-anak yang belum baligh
  • Orang yang sedang sakit atau dalam perjalanan jauh
  • Perempuan yang sedang haid atau nifas
  • Perempuan yang sedang hamil atau menyusui
  • Orang yang sudah tua renta dan tidak mampu berpuasa

Jika seseorang termasuk dalam salah satu pengecualian tersebut, maka ia tidak wajib berpuasa. Namun, ia tetap dianjurkan untuk berpuasa jika mampu.

Puasa merupakan ibadah yang sangat penting dalam Islam. Dengan berpuasa, umat Islam diharapkan dapat lebih meningkatkan ketakwaannya kepada Allah SWT, serta belajar untuk menahan hawa nafsu dan mengendalikan diri.

Baligh

Syarat wajib puasa yang kedua adalah baligh. Baligh berarti sudah dewasa. Usia baligh bagi laki-laki adalah ketika ia sudah mimpi basah, sedangkan usia baligh bagi perempuan adalah ketika ia sudah haid. Namun, ada juga pendapat yang mengatakan bahwa usia baligh bagi laki-laki dan perempuan adalah ketika mereka sudah berusia 15 tahun.

  • Mimpi basah

    Mimpi basah adalah keluarnya air mani dari kemaluan laki-laki saat ia tertidur. Mimpi basah merupakan salah satu tanda bahwa laki-laki sudah baligh dan wajib berpuasa.

  • Haid

    Haid adalah keluarnya darah dari kemaluan perempuan setiap bulan. Haid merupakan salah satu tanda bahwa perempuan sudah baligh dan wajib berpuasa.

  • Usia 15 tahun

    Menurut sebagian ulama, usia baligh bagi laki-laki dan perempuan adalah ketika mereka sudah berusia 15 tahun. Hal ini berdasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Aisyah RA:

    رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَبْلُغَ، وَعَنِ المجنونِ حَتَّى يَعْقِلَ

    Artinya: “Diangkat pena (tidak dicatat dosanya) dari tiga golongan: dari orang yang tidur hingga ia bangun, dari anak kecil hingga ia baligh, dan dari orang gila hingga ia sembuh.”

  • Tumbuhnya bulu kemaluan

    Tumbuhnya bulu kemaluan juga merupakan salah satu tanda bahwa seseorang sudah baligh. Namun, tumbuhnya bulu kemaluan saja tidak cukup untuk menunjukkan bahwa seseorang sudah baligh. Seseorang baru dianggap baligh ketika ia sudah mengalami mimpi basah atau haid, atau ketika ia sudah berusia 15 tahun.

Jika seseorang sudah memenuhi syarat baligh, maka ia wajib berpuasa. Namun, jika seseorang belum baligh, maka ia tidak wajib berpuasa. Anak-anak yang belum baligh hanya dianjurkan untuk berpuasa sunnah.

Berakal

Syarat wajib puasa yang ketiga adalah berakal. Artinya, hanya orang yang berakal sehat yang wajib berpuasa. Orang yang tidak berakal sehat, seperti orang gila atau orang yang sedang mabuk, tidak wajib berpuasa.

Dasar hukum kewajiban puasa bagi orang yang berakal sehat terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 286:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Artinya: “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (puasa) membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebaikan, maka itu lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”

Dari ayat tersebut, jelas bahwa puasa merupakan kewajiban bagi seluruh umat Islam yang berakal sehat. Namun, bagi orang yang tidak mampu berpuasa karena alasan tertentu, seperti sakit atau dalam perjalanan jauh, mereka diperbolehkan untuk membayar fidyah sebagai gantinya.

Orang yang gila atau sedang mabuk tidak wajib berpuasa karena mereka tidak memiliki akal sehat. Mereka tidak dapat memahami kewajiban puasa dan tidak dapat mengendalikan diri untuk tidak makan dan minum selama berpuasa.

Jika seseorang sudah memenuhi syarat berakal, maka ia wajib berpuasa. Namun, jika seseorang tidak berakal sehat, maka ia tidak wajib berpuasa. Orang yang gila atau sedang mabuk hanya dianjurkan untuk berpuasa sunnah jika mereka mampu.

Mampu

Syarat wajib puasa yang keempat adalah mampu. Artinya, hanya orang yang mampu berpuasa yang wajib berpuasa. Orang yang tidak mampu berpuasa, seperti orang yang sakit atau dalam perjalanan jauh, tidak wajib berpuasa.

  • Sakit

    Orang yang sakit tidak wajib berpuasa. Sakit yang dimaksud adalah sakit yang berat dan dapat membahayakan kesehatan jika tetap berpuasa. Misalnya, orang yang menderita penyakit jantung, diabetes, atau tekanan darah tinggi.

  • Dalam perjalanan jauh

    Orang yang sedang dalam perjalanan jauh juga tidak wajib berpuasa. Perjalanan jauh yang dimaksud adalah perjalanan yang jaraknya lebih dari 81 kilometer. Misalnya, orang yang sedang bepergian dari Jakarta ke Surabaya.

  • Hamil atau menyusui

    Perempuan yang sedang hamil atau menyusui juga tidak wajib berpuasa. Hal ini karena ibu hamil dan menyusui membutuhkan nutrisi yang cukup untuk kesehatan diri mereka sendiri dan bayi mereka.

  • Orang tua renta

    Orang tua renta yang sudah tidak mampu berpuasa juga tidak wajib berpuasa. Orang tua renta yang dimaksud adalah orang yang sudah berusia 70 tahun ke atas.

Jika seseorang tidak mampu berpuasa karena alasan tertentu, maka ia diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Namun, ia tetap wajib mengganti puasa tersebut di lain waktu, yaitu setelah ia sembuh dari sakit, selesai bepergian jauh, atau setelah melahirkan dan selesai menyusui.

Tidak sedang haid atau nifas

Syarat wajib puasa yang kelima adalah tidak sedang haid atau nifas. Artinya, hanya perempuan yang tidak sedang haid atau nifas yang wajib berpuasa. Perempuan yang sedang haid atau nifas tidak wajib berpuasa.

Dasar hukum kewajiban puasa bagi perempuan yang tidak sedang haid atau nifas terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 184:

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

Artinya: “Dan janganlah kamu campuri mereka itu (isteri-isterimu) sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid-mesjid. Itulah ketentuan-ketentuan Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka bertakwa.”

Dari ayat tersebut, jelas bahwa perempuan yang sedang haid atau nifas tidak diperbolehkan untuk berpuasa. Hal ini karena perempuan yang sedang haid atau nifas dianggap tidak suci. Selain itu, berpuasa saat haid atau nifas dapat membahayakan kesehatan perempuan.

Perempuan yang sedang haid atau nifas wajib mengganti puasa yang ditinggalkan setelah selesai haid atau nifas. Puasa yang ditinggalkan tersebut dapat diganti dengan puasa sunnah atau puasa wajib di bulan Ramadhan berikutnya.

Jika seorang perempuan sedang haid atau nifas, maka ia tidak wajib berpuasa. Namun, ia tetap wajib mengganti puasa tersebut di lain waktu.

Tidak sedang hamil atau menyusui

Syarat wajib puasa yang keenam adalah tidak sedang hamil atau menyusui. Artinya, hanya perempuan yang tidak sedang hamil atau menyusui yang wajib berpuasa. Perempuan yang sedang hamil atau menyusui tidak wajib berpuasa.

Dasar hukum kewajiban puasa bagi perempuan yang tidak sedang hamil atau menyusui terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 184:

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

Artinya: “Dan janganlah kamu campuri mereka itu (isteri-isterimu) sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid-mesjid. Itulah ketentuan-ketentuan Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka bertakwa.”

Dari ayat tersebut, jelas bahwa perempuan yang sedang hamil atau menyusui tidak diperbolehkan untuk berpuasa. Hal ini karena perempuan yang sedang hamil atau menyusui membutuhkan nutrisi yang cukup untuk kesehatan diri mereka sendiri dan bayi mereka. Selain itu, berpuasa saat hamil atau menyusui dapat membahayakan kesehatan perempuan dan bayi mereka.

Perempuan yang sedang hamil atau menyusui wajib mengganti puasa yang ditinggalkan setelah selesai hamil atau selesai menyusui. Puasa yang ditinggalkan tersebut dapat diganti dengan puasa sunnah atau puasa wajib di bulan Ramadhan berikutnya.

Jika seorang perempuan sedang hamil atau menyusui, maka ia tidak wajib berpuasa. Namun, ia tetap wajib mengganti puasa tersebut di lain waktu.

Tidak sedang bepergian jauh

Syarat wajib puasa yang ketujuh adalah tidak sedang bepergian jauh. Artinya, hanya orang yang tidak sedang bepergian jauh yang wajib berpuasa. Orang yang sedang bepergian jauh tidak wajib berpuasa.

Dasar hukum kewajiban puasa bagi orang yang tidak sedang bepergian jauh terdapat dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 102:

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Artinya: “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang diberikan-Nya kepadamu, supaya kamu bersyukur.”

Dari ayat tersebut, jelas bahwa orang yang sedang bepergian jauh tidak wajib berpuasa. Hal ini karena bepergian jauh dapat menyebabkan kelelahan dan kesulitan dalam mendapatkan makanan dan minuman. Selain itu, berpuasa saat bepergian jauh dapat membahayakan kesehatan.

Orang yang sedang bepergian jauh wajib mengganti puasa yang ditinggalkan setelah selesai bepergian. Puasa yang ditinggalkan tersebut dapat diganti dengan puasa sunnah atau puasa wajib di bulan Ramadhan berikutnya.

Jika seseorang sedang bepergian jauh, maka ia tidak wajib berpuasa. Namun, ia tetap wajib mengganti puasa tersebut di lain waktu.

Check Also

Yang Termasuk Upaya Menghadapi Globalisasi Dalam Bidang Budaya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *